Kisah Pengungsi Afghanistan di Pekanbaru yang Jahit Mulut, Apa Tuntutannya?

Dipublikasikan December 8, 2021 4:20 PM oleh Admin

Para pengungsi Afghanistan pelaku aksi jahit mulut sebagai protes menuntut segera ditempatkannya mereka ke negara ketiga, beristirahat di teras rumah tak jauh dari lokasi aksi diam mereka di Pekanbaru, Riau, pada 6 Desember 2021. Dina Febriastuti/BenarNews

Kisah tragis pengungsi Afghanistan di Indonesia menyisakan keprihatinan. Diharapkan adanya perhatian dari pemangku kepentingan untuk membereskan masalah ini

Dailymakassar.id – PEKANBARU. Beberapa pengungsi dari Afghanistan di Pekanbaru, Riau, melakukan aksi dengan menjahit mulut dan mogok makan untuk menarik perhatian internasional atas tuntutan mereka untuk segera ditempatkan ke negara ketiga setelah bertahun-tahun berada di Indonesia tanpa kejelasan.

Sekitar 300 pengungsi – kebanyakan dari Afghanistan – menempati tenda warna biru seadanya yang dipasang di depan kantor lembaga pengungsi PBB (UNHCR) dan Organisasi Migrasi Internasional (IOM) selama hampir satu bulan terakhir.

Empat orang diantaranya, semuanya warga Afghanistan – Ichodadad Gholami (25), Abdul Latif Akhlaqi (27 ), Baman Ali (33) dan Nauboz Ali (31) – telah melakukan aksi jahit mulut dan mogok makan sejak Jumat malam.

“Kami sudah selama 10 tahun tinggal di sini. Sementara, tak mungkin bagi kami kembali saat ini. Lalu, proses resettlement (penempatan ke negara lain) tak juga terjadi,” kata Baman kepada BenarNews.

Ia mengatakan sudah putus asa.

”Kami sudah melakukan aksi demonstrasi selama berkali-kali dan tak ada yang peduli,” ujarnya menambahkan bahwa mereka tidak mempunyai pilihan lain.

Seorang pengungsi lainnya, Abufazl Jafari, mengungkapkan bahwa pengungsi yang berkumpul di tenda dan sekitarnya pada hari Senin itu tidak sebanyak hari-hari sebelumnya.

“Sebagian yang tak bisa mengikuti aksi ada yang sedang sakit, ada yang memiliki bayi atau anak-anak, ada yang sudah cukup tua,” ungkapnya kepada BenarNews.

Bakar diri

Aksi jahit mulut itu menyusul tindakan seorang pengungsi Afghanistan di Medan yang membakar dirinya sebagai aksi protes yang sama, akhir November lalu

Ahmad Syah (22), yang telah berada di Indonesia selama hampir 10 tahun, kini berada dalam perawatan intensif di RS di Medan karena luka bakar serius setelah upayanya bunuh diri dengan membakar sekujur tubuhnya di depan kantor UNHCR Medan, gagal.

BACA JUGA  Kabar Duka, Mantan Wapres Hamzah Haz Meninggal Dunia

Menurut salah satu pengungsi, Nazir Hussain, dari 903 orang pengungsi luar negeri di Pekanbaru, hanya 80-an orang yang bukan berasal dari Afghanistan.

Ia mengatakan aksi tersebut tidak diorganisir atau akibat provokasi. Semua karena keinginan masing-masing agar aspirasi mereka bisa didengar.

Itu semua didorong oleh kondisi yang sama, yakni ketidakjelasan masa depan mereka selama bertahun-tahun. Sebagian dari mereka ada yang sudah berada di Indonesia sejak tahun 2012. Nazir sendiri sudah di Pekanbaru sejak tujuh tahun lalu.

“Prihatin dan bersimpati”

Mitra Suryono, juru bicara UNHCR Indonesia, menyatakan bersimpati terhadap apa yang dialami pengungsi.

“UNHCR sangat prihatin akan situasi di Pekanbaru. Kami memahami dan bersimpati terhadap rasa frustrasi para pengungsi.”

Ia mengatakan bahwa UNHCR telah berulang kali menasihati mereka untuk tidak mengambil tindakan-tindakan melukai diri sendiri.

“Staff UNHCR selalu berkomunikasi dengan para pengungsi dan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait di lapangan, untuk memastikan situasi dapat ditangani dan diselesaikan,” ujarnya kepada BenarNews.

Mitra mengatakan 20 negara penerima hanya dapat menerima kurang dari 1,5 persen dari 26 juta pengungsi di seluruh dunia.

“Banyak negara penerima tersebut mengurangi jumlah penerimaan resettlement mereka dalam beberapa tahun terakhir ini karena berbagai alasan. Mereka hanya dapat menerima pengungsi yang paling rentan,” ujarnya

Menurut Mitra, UNHCR dan mitra kerjanya terus menjalankan advokasi untuk peningkatan jumlah resettlement bagi pengungsi yang ada di Indonesia. “Kami bersama para mitra kerja dan pemerintah Indonesia bekerja mencari solusi lain, termasuk mencarikan peluang hidup mandiri dan pendidikan bagi pengungsi selama mereka tinggal di Indonesia.”

Tapi harapan ini tampaknya tidak menjanjikan. Kepala Divisi Imigrasi Kantor Wilayah Kumham Riau Muhammad Tito Andrianto menyampaikan pemerintah tak memiliki kewenangan menentukan penempatan.

Pemerintah, sebagaimana Peraturan Presiden 2015 tentang Pengungsi hanya menjalankan fungsi pengawasan. “Tentang resettlement tentulah itu ada di pihak UNHCR,” ungkapnya.

Wawancara yang dilakukan BenarNews pada pertengahan Juni kepada pengungsi asing di Jakarta mengaku mereka kesulitan untuk menghidupi dirinya selama terkatung-katung menanti penempatan ke negara ketiga karena mereka tidak boleh bekerja di Indonesia.

BACA JUGA  Kabar Duka, Mantan Wapres Hamzah Haz Meninggal Dunia

Pejabat Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan keberadaan para pengungsi di Indonesia ditetapkan sesuai Undang-Undang Keimigrasian yang tidak memiliki klausul terkait pemberian izin bagi pengungsi asing untuk bekerja di Indonesia. 

Anak-anak mereka juga tidak bisa mengakses sarana pendidikan di Indonesia. 

Indonesia tidak merasa memiliki kewajiban untuk memberikan pemenuhan hidup bagi para pengungsi asing lantaran pemerintah belum meratifikasi Konvensi PBB tahun 1951 tentang Status Pengungsi.

Kantor UNHCR di Jakarta mengatakan sejumlah pengungsi di Indonesia meninggal karena bunuh diri, tapi menolak memberikan angka pasti. 

“Banyak di antara mereka telah menunggu bertahun-tahun untuk memperoleh solusi jangka panjang, sementara pada saat yang bersamaan mereka tidak memiliki cukup kesempatan untuk hidup mandiri dan untuk pengembangan diri,” kata Dwi Prafitria, yang bekerja di bagian komunikasi UNHCR, akhir bulan lalu.  

Dwi mengatakan, UNHCR terus berupaya memperbaiki kondisi kehidupan dan kesehatan mental para pengungsi dan pencari suaka melalui kerja sama dengan pemerintah dan organisasi mitra mereka seraya meneruskan advokasi untuk pencarian solusi jangka panjang bagi pengungsi. 

Data UNHCR Indonesia menunjukkan hingga akhir Mei 2021, terdapat sekitar 13.400 pengungsi asing di Indonesia, dengan 7.000 di antaranya tinggal di Jakarta dan sekitarnya, dan sisanya tersebar antara lain di Medan, Pekanbaru, Tanjung Pinang, dan Makassar.

Namun, kedatangan para pengungsi sepanjang tahun 2020, turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, kata UNHCR.

Pada rentang periode tahun 2018-2019, pengungsi yang datang mencari suaka mencapai 2.000-3.000 orang. Sementara per akhir 2020, hanya 730 pencari suaka dengan mayoritasnya dari Afganistan, disusul Somalia, Irak, dan Myanmar.

Sebagian besar pengungsi dari Afghanistan merupakan anggota etnis Hazara yang menjadi korban persekusi di negaranya karena kepercayaan Syiah mereka.

Mereka mengatakan khawatir akan keselamatan keluarga mereka karena kembalinya Taliban berkuasa setelah terguling 20 tahun lalu pasca invasi militer Amerika Serikat. 

Perasaan khawatir dan putus asa memang tampaknya telah menjadi bagian dalam diri para pengungsi, termasuk Baman dan tiga rekannya dengan bibir terjahit yang duduk di sebuah teras rumah tak jauh dari lokasi aksi diam mereka, siang itu.

Kegetiran terlihat di wajah mereka.

“Kami sudah kirim surat ke UNHCR dan menyampaikan pesan kami ke Kantor UNHCR di sini. Jika mereka tak juga memedulikannya, kami akan melakukan langkah selanjutnya,” ucap Baman, “kami akan membakar diri kami.” [Konten Media Partnert: benarnews.org]

Comment