
EDITORIAL — MENGGELINDINGNYA isu kotak kosong dalam Pilgub Sulsel terus mengemuka. Isu ini berawal dari fenomena belum adanya partai-partai papan atas yang mengumumkan siapa bakal calon mereka yang pasti di Pilgub. Sebutlah partai NasDem. Walau pun DPW sudah mengusulkan Andi Sudirman-Fatmawati sebagai paslon pilihan, namun DPP NasDem belum juga mengeluarkan surat penugasan alias rekomendasi.
Demikian pula dengan DPP Partai Golkar yang terkesan terus menunda serta DPP Gerindra yang belum juga mengambil keputusan. Sementara, waktu jelang perhelatan Pilgub Sulsel semakin dekat.
Isu kotak kosong ini juga semakin menjadi buah bibir warga karena dikabarkan, seorang petinggi partai mengemukakan kemungkinan hal itu bisa terjadi.
Lantas, mengapa isu ini demikian cepat menjalar? Dalam konteks analisa komunikasi semiotika, seperti yan pernah diulas Edward Bernays dalam bukunya yang menyihir: Propaganda dengan sub judul: Manipulasi Opini Masyarakat, dia memulai dengan menerapkan metode semiotika,
Dalam politik, cara paling efektif menciptakan ‘kegagapan’ para elite politik yang berujung pada terciptanya suasana “kecemasan dan rasa terancam akan dimanipulasi atau dalam bahasa gaulnya ‘di-prank’ oleh para kompetitor terus dihembuskan,
Lantas siapa yang menghembuskan? Jawabnya sederhana: elite politik itu sendiri. Dan ini memang sangat paradox. Karena dalam benak para petinggi partai, hukum besi pemilihan umum adalah bagaimana memerangkap partai pesaingnya dalam sebuah ‘kandang’ agar tak memiliki kekuatan bargaining. Mirip Singa, sang Raja Hutan yang tunduk dan menjadi tontonan anak-anak di pertunjukan sirkus.
Isu kotak kosong adalah ‘semiotika’ politik yang dalam pengertian keilmuannya adalah proses dialektika unsur tanda; yakni penanda dan tertanda dengan valensi makna yang sangat arbiter dan cenderung ‘menipu’. Artinya kotak kosong sebagai tanda (isu yang dihembuskan) dalam dirinya menyimpan unsur ‘menipu’ -sebagaimana Umberco Eco melacaknya dengan tajam.
Barangkali, di sinilah permainan politik menemui wajahnya yang asli: manipulasi, gertakan, negosiasi, bujuk rayu, iming-iming janji, siap siaga menunggu menjebak, berkolaborasi untuk mencipkatan suasana ketidakpastian agar persentasi dari potensi kemenangan semakin mengutub.
Lantas, apakah isu kotak kosong adalah sebuah style (genre) berpolitik mutakhir untuk menandai ‘raib’-nya tanggungjawab publik dari para elite politik?
Di zaman Yunani yang distigma sebagaindemokrasi awal, bisa bercerita banyak: polis yang berisi warga negara sebenarnya hanya ‘penonton’ dengan hiruk-pikuk kebisingannya. Tak ada hak full bersuara di sana. Karena yang menetukan adalah Kaisar dan senator -di abad 21 ini disebut birokrasi, elite politik serta para oligarki.
Dan isu kotak kosong di Pilgub Sulsel bisa tercium dari sana. Dia adalah permainan politik yang mencoba meletakkan oposisi biner antara kotak kosong atau otak kosong. Lalu permainan politik mencoba menguji di manakah rakyat berada? Di kotak kosong atau otak kosong. Yang keduanya sama-sama menistakan hak rakyat. [Redaksi]