MAKASSAR, EDITORIAL — Sebuah bangsa sangat membutuhkan suara moral dalam menjaga kemanusiaannya. Suara moral yang meletakkan dialektika dan ruang dialog yang menjadi pelumas bergeraknya roda peradaban.
Tanpa itu, maka yang terjadi adalah pengeroposan sistem demokrasi. Suara publik hanya menjadi kebisingan yang nir pencerahan atau sebaliknya muncul sikap apatis publik terhadap persoalan politik yang menyangkut nasib mereka di masa depan.
Lalu siapakah yang dalam kurun sejarah panjang dinilai sebagai pembawa suara moral publik? Jawabnya: kaum cendekiawan, intelektual serta budayawan. Merekalah yang menjaga gerbang moralitas rakyat dan senantia tampil di depan melakukan protes keras bila kondisi tatanan baik politik, sosial maupun budaya sudah jauh menyimpang dari rel hati nurani.
Merekalah yang dalam tradisi para pembawa suara kebenaran disebut nabi atau resi yang di depan gerbang istana kegelapan mengumandangkan protes tanpa takut berakhir di tiang gantungan.
Edward W Said dalam bukunya “Intelektual” memberi bahan baku apa yang disebut kaum intelektual: mereka adalah sosok dengan integritas yang tak terbeli. Yang rela menghadapi ‘kesepian’ dalam perjuangannya. Sosok yang tak mengenal kompromi dalam mempertahankan keyakinannya namun bersedia melakukan dialog untuk sebuah kebenaran.
Di abad 20, Julian Benda menulis buku yang hingga kini menjadi pegangan bagi kaum yang masih punya sikap dalam dunia yang makin terkooptasi dengan uang. Sebentuk agama baru: “Keuangan yang Maha Esa”. Judul buku Julian Benda itu adalah “Pengkhiatan Kaum Intelektual“.
Di sana Benda menggambarkan bagaimana kelompok yang diidentifikasi sebagai intelektual rela “melacurkan” diri untuk memperoleh privelege, hak istimewa dan kekayaan dari penguasa atau pun oligarki. Dan ketika itu terjadi, suara moral pun tumbang. Tatanan pun berubah; yang dalam falsafah Bugis Makassar dikenal dengan zaman “Sianre’ Bale“, atau dalam filsafat Ki Ronggo Warsito dkenal dengan istilah “Zaman Edan”.
Lalu bagaimana kondisi saat ini, khususnya di Sulsel jelang Pilkada? Masih adakah intelektual yang berdiri di depan gerbang meneriakkan kebenaran dan bukan pembenaran yang dibayar? Masih adakah intektual yang mau mengambil resiko kehilangan segalannya –kecuali harga dirinya, yang rela menjalani kehidupan sunyi dan terbuang? Karena realita yang pahit harus kita terima, meminjam kata seorang intelektual Makassar: kebanyakan kaum intelektual kita tak lebih dari “intelektual sepotong roti”. (Redaksi)