DI AWAL TAHUN 2000-an khasanah bahasa Indonesia memunculkan kosa kata baru: emak-emak. Pada umumnya kita mengartikan emak-emak sebagai padanan kaum ibu, wanita paruh baya atau perempuan yang telah mencapai level umur tertentu.
Namun barangkali padanan kata emak-emak tersebut tidak sepenuhnya mewakili makna yang ingin disampaikan. Istilah emak-emak, dalam teori besar Semiotika yang dibangun Umberto Eco merupakan kode yang bisa dijelas kan dengan mengambil oposisi biner-nya dalam perpektif kaum perempuan dengan kelas tertentu dalam level stratafikasi sosial, ekonomi, politik dan –sangat penting– relasi-nya dengan dominasi kekuasaan.
Jadi barangkali makna emak-emak akan lebih berbunyi nyaring ketika disandingkan dengan kaum perempuan sosialita –sekumpulan perempuan yang dikategorikan berada dalam zona nyaman karena statusnya berada di bawah sokongan gaya hidup hedonistik sebagai takaran eksistensinya. Dalam bahasa pemikir Prancis Jean Baudrilard, mereka adalah motor penggerak masyarakat konsumerisme.
Emak-emak yang menjadi oposisi biner kaum sosialita adalah sebentuk perlawanan ekonomi, sosial dan kultural untuk menggambarkan posisi ideologis kaum perempuan yang terpinggirkan dalam pola hubungan relasi sosial, ekonomi dalam sistem kekuasaan.
Emak-emak adalah simbol makna perlawanan terhadap berbagai bentuk diskriminasi terhadap marjinalitas kaum ibu kelas bawah yang pada umumnya menjadi penopang ekonomi keluarga.
Kekuatannya emak-emak yang paling menonjol terletak pada aksi-aksi yang cenderung anti mainstream serta bertransformasi menjadi ikon subkultur penyanggah dalam budaya perlawanan terhadap sistem ekonomi sosial yang tidak fair.
Kekuatan ini disadari atau tidak membentuk kesadaran baru: menjadi kekuatan politik ideologis baru yang nyaris sama dengan gerakan kaum hippies di benua AS ditahun 60 an. (Redaksi)
Comment