Pilpres Masih 2 Tahun, Tapi Manuver Politik Sudah Mulai

Dipublikasikan June 11, 2022 11:41 PM oleh Admin

Ilustrasi pemilu

Dailymakassar.id – JAKARTA. Pemilihan presiden mungkin masih dua tahun lagi, tetapi manuver politik yang intens telah dimulai dengan pertemuan pemimpin partai, deklarasi dukungan, dan, tentu saja, spekulasi siapa yang bakal jadi calon presiden.

Pemilihan presiden (Pilpres) yang dijadwalkan pada 14 Februari 2024 akan menjadi persaingan sengit dan diperkirakan akan berlangsung dua putaran karena tidak ada tokoh yang mendapat lebih dari 30 persen dalam survei baru-baru ini, kata para analis.

Karena Presiden Joko “Jokowi” Widodo tidak bisa lagi dicalonkan, partai politik akan melirik tokoh yang popular untuk dicalonkan, bahkan mereka yang tidak memiliki afiliasi partai seperti Gubernur Jakarta Anies Baswedan.

“Partai terdorong membuat koalisi lebih awal karena relatif cukup banyak kandidat potensial saat ini untuk dicalonkan,” kata Arya Fernandes, seorang peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bulan ini mendeklarasikan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), menjadikan mereka memenuhi syarat untuk bersama-sama mengajukan calon presiden dengan hampir 27 persen kursi di DPR.

Pada hari Kamis, para pemimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Kebangkitan Nasional (PKB) bertemu untuk membahas kemungkinan koalisi.

Menurut undang-undang pemilu, partai politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon presiden jika mereka memegang setidaknya 20 persen kursi di DPR atau memenangkan 25 persen suara dalam pemilihan terakhir.

Jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Anies Baswedan merupakan tokoh yang paling difavoritkan.

“Perolehan suara tiga calon populer itu juga relatif ketat sehingga pilpres bisa terjadi dalam dua putaran. Petahana juga tidak ada sehingga pilpres diprediksi akan ketat,” kata Arya.

Putaran kedua akan diadakan pada 26 Juni 2024 jika tidak ada kandidat yang meraih lebih dari 50 persen suara.

Minggu ini, pemerintah dan parlemen memutuskan untuk mengurangi masa kampanye pemilu menjadi 75 hari, dari enam bulan di pemilu sebelumnya, karena kekhawatiran tentang polarisasi pemilih dengan kampanye yang panjang.

Kampanye dalam dua pemilihan sebelumnya diwarnai oleh serangan dengan menggunakan isu agama dan etnis selama berminggu-minggu oleh pendukung calon.

Dalam survei Saiful Mujani Research and Consulting yang dirilis pekan ini, Ganjar menempati urutan pertama dengan 30,3 persen, diikuti Prabowo 27,3 persen, dan Anies 22,6 persen. Hampir 20 persen responden masih belum memutuskan, kata SMRC.

Minggu ini, kelompok bernama Majelis Sang Presiden, yang anggota disebut termasuk eks-narapidana terorisme dan pengikut organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan dukungan mereka untuk Anies.

Tetapi para pendukung Anies mengatakan itu adalah pernyataan dukungan palsu oleh lawan politik untuk membuatnya terlihat seperti dia didukung oleh kaum radikal.

“Kubu oposisi mungkin akan mencalonkan Gubernur Jakarta Anies Baswedan, sebagian besar karena popularitasnya di kalangan pemilih Islam konservatif,” Deasy Simandjuntak, pengamat politik di Yusof Ishak Institute (ISEAS) di Singapura.

“Tetapi tidak jelas apakah blok suara ini sekuat pada 2019 setelah langkah pemerintah baru-baru ini, seperti melarang Front Pembela Islam (FPI),” tulisnya di situs Forum Asia Timur.

Beberapa pengamat mengatakan Jokowi bisa menjadi “king maker” atau orang yang menentukan pemenang pemilihan, tetapi tidak jelas apakah dia telah memutuskan siapa yang menurutnya harus menggantikannya.

“Biasanya petahana akan mencoba mengajukan kandidat yang akan melanjutkan warisannya, tetapi Jokowi tidak memiliki partai sendiri sehingga tidak akan dapat memilih penggantinya,” kata Deasy.

“Pertempuran politik itu sendiri kemungkinan akan bergeser ketika partai-partai membentuk koalisi baru mengikuti kandidat yang mereka dukung,” katanya.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) bisa aja memutuskan untuk memasangkan Ganjar dengan Ketua DPR Puan Maharani.

Namun kericuhan baru-baru ini antara politisi PDI-P dan Ganjar memunculkan keraguan apakah gubernur Jawa Tengah akan mendapat dukungan partai yang dipimpin Megawati itu.

“Itu fakta bahwa ada reaksi yang tak baik antara Puan dengan Ganjar. Musababnya adalah soal persaingan pencapresan di internal PDIP,” kata Ujang Komarudin, dosen ilmu politik di Universitas Al Azhar Jakarta.

Rencana koalisi partai

Terkait potensi pembentukan koalisi, Sekretaris Jenderal Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Johnny G Plate dalam keterangan kepada wartawan di gedung DPR mengatakan bahwa partainya belum menentukan hal tersebut sampai sekarang.

Perihal calon akan dibahas lebih lanjut dengan perwakilan daerah pada rapat kerja nasional, kata Plate yang juga Menteri Komunikasi dan Informatika pemerintahan Jokowi.

Calon-calon akan kami bicarakan dalam rapat kerja nasional. Nasdem tidak membentuk koalisi sebelum ada capres,” ujar Plate.

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh sendiri telah bertemu sejumlah politik nasional dalam beberapa pekan terakhir, salah satunya mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Minggu (5/6).

Serupa pula pernyataan perwakilan KIB dari PPP, Arsul Sani, yang mengatakan kubunya masih mempertimbangkan calon potensial yang bisa memenangkan pemilihan presiden.

“(Calon presiden) Bisa ada di dalam KIB, bisa dari luar,” ujar Arsul Sani dalam keterangannya kepada wartawan.

Dari ketiga calon potensial saat ini, Prabowo masih akan berada di lingkaran kekuasaan hingga 2024, sebaliknya Anies akan menyudahi masa jabatan Gubernur DKI Jakarta pada 2022 dan Ganjar akan mengakhiri masa jabatannya sebagai Gubernur Jawa Tengah pada 2023.

Ujang dari Al Azhar menilai ihwal tersebut akan memengaruhi tingkat elektabilitas Anies dan Ganjar di tengah masyarakat.

“Buat masyarakat kita, orang yang tidak punya kekuasaan itu posisinya lemah,” ujar Ujang.

Pemilihan legislatif

Mengenai pemilu legislatif, SMCR dalam rilis survei pada hari ini menyatakan bahwa PDI-P masih menjadi partai pilihan publik, dengan dukungan sebesar 23,7 persen.

Gerindra berada pada posisi kedua 9,2 persen dan Golkar 8,3 persen pada peringkat ketiga, kata Direktur Riset SMCR Deni Irvani dalam keterangannya.

PKB mengikuti pada peringkat keempat dengan 6,2 persen, Demokrat 5,7 persen, PKS 2,5 persen, Nasdem 2 persen, dan sisanya di bawah 2 persen.

“Kami melihat kekuatan partai dibanding Pemilu 2019 tidak mengalami perubahan berarti,” ujar Deni.

Ujang Komarudin menilai sentimen suku, agama dan antargolongan masih cukup laku bagi pemilih di tanah air.

“Ke depan, saya melihat isu itu masih akan kencang dengan berbagai macam pola, tapi saya berharap tidak lagi digunakan,” tambah Ujang.

The Jakarta Post dalam editorialnya pada Jumat menyatakan adanya lebih dari dua kandidat yang bersaing dalam pemilihan presiden akan lebih baik untuk mengurangi polarisasi.

“Ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengakhiri masa jabatan kedua dan terakhirnya, koalisi yang berkuasa tampaknya akan bubar,” katanya.

“Lebih banyak aliansi memungkinkan lebih banyak pesaing bersaing untuk kursi kepresidenan. Karena pemilu di negara ini telah lama disebut sebagai ‘pesta demokrasi’, semakin banyak kandidat, semakin meriah,” tulis media tersebut. [Konten Media Partner: benarnews.org]

Comment