Editorial: Dalam Belantara Baliho

Dipublikasikan October 3, 2023 9:37 AM oleh Admin

Baliho Caleg (ilustrasi)

EDITORIAL, dailymakassar.id – SETIAP jelang pemilihan calon legislatif (caleg), ada pemandangan yang sudah menjadi semacam rutinitas –bahkan bisa disebut ritual lima tahunan– yakni lingkungan sekitar kita diserbu ratusan bahkan ribuan baliho dan banner gambar para caleg.

Bisa dikatakan, tak ada sejengkal tempat pun tersisa. Lautan baliho tersebut seperti saling berebut ruang. Saling tumpang tindih, centang perenang dan berusaha menarik perhatian para warga.

Desain baliho nya pun nyaris seragam; ada gambar potret para caleg, tersenyum menghiba atau mendongak menatap langit seakan dengan tampilan semacam itu, warga diharap mempersepsinya sebagai figur yang memiliki visi jauh ke ke depan.

Di bawah atau di samping potret para caleg, ada nama sang caleg, partai, dapil serta nomor urut. Sebuah kalimat ringkas menyertai tampilan baliho itu. Isinya pun nyaris seragam dan kadang demikian ‘kering’: Berjuang Demi Rakyat, Bersama Rakyat Menuju Kesejahteraan dll.

BACA JUGA  Editorial: Andi Iwan Aras, Kader Partai yang Layu Sebelum Berkembang

Fenomena semacam ini hadir dan benar-benar ‘membungkus’ kota hingga jauh ke pelosok desa. Bahkan dalam takaran tertentu justru terlihat membuat kota atau desa menjadi terlihat ‘jorok’ oleh lautan baliho itu.

Pertanyaan yang kerap muncul, apakah warga memperhatikan baliho dengan tampilan potret ciamik para caleg tersebut? Entahlah. Namun kemungkinan besar, jangankan melihat dan kemudian berkeinginan mengatahui lebih jauh sosok di baliho tersebut, meliriknya pun mungkin tidak.

Bahkan ada beberapa baliho atau banner caleg yang membuat kita sedikit muak; dengan seenaknya memaku alat peraga kampanyenya di pohon. Apakah caleg yang melakukan hal ini layak dipilih? Bagaimana kita bisa menaruh kepercayaan kepada mereka yang sedari awal sudah tidak menghargai lingkungan? Tidak menghormati ‘hak’ makhluk hidup pohon dengan seenakknya merusaknya?

Barangkali, memang paradigma model kampanye kita hanya sebatas itu. Paradigma yang sebenarnya sudah sangat usang di tengah era perubahan teknologi informasi digital. Ya, apa boleh buat. Yang ada dibenak kebanyakan caleg kita ketika ingin memperkenalkan diri hanya sebatas memasang baliho.

BACA JUGA  Editorial: Kotak Kosong Atau Otak Kosong

Padahal, sejatinya politik adalah sebuah kata kerja. Sebuah nama (politisi) dibangun tidak hanya di musim caleg, tapi merupakan kerja pengabdian yang dibangun dari bawah. Itulah yang biasa kita sebut kader partai.

Namun, memang sistem politik kita yang melahirkan partai politik tidak terlalu memperdulikan pendidikan kader, karena yang berkuasa dalam prosesi pemilihan kita adalah azas: Keuangan yang maha Esa.

Maka, ketika musim caleg tiba, yang kita saksikan adalah lautan baliho yang muncul karena para caleg baru mau memperkenalkan diri. Baru mau merayu rakyat dengan iming-iming mimpi yang kadang demikian bombastis. Kecuali ada segelintir caleg yang sudah tercerahkan dan sudah melampaui paradigma baliho. (Redaksi)

Comment