Editorial: 28 Oktober 1928

Dipublikasikan October 27, 2022 10:29 PM oleh Admin

Kongres Pemuda 1928 (Foto: Arsip Nasional)

Dailymakassar.id – EDITORIAL – HARI ITU, 28 Oktober 1928, sekumpulan anak muda datang ke sebuah pertemuan: mereka menamakan Kongres Pemuda. Tak ada pengerahan massa ala Kirab Remaja di era Orde Baru. Tak ada mobilisasi yang ‘petantang-petenteng’ dengan baju uniform yang necis. Segalanya seperti mengalir dalam tarikan satu greget passion yang sama: kehendak bersatu dalam satu napas perjuangan.

Barangkali, inilah yang membuat pertemuan tersebut tertoreh demikian intens dalam benak ingatan kolektif rakyat. Barangkali, inilah mengapa konsensus yang ditelurkannya demikian menggetar jiwa: Satu Bangsa, Satu Bahasa dan Satu Tanah Air: Indonesia.

Kita tak tahu persis, apakah pemuda yang berkumpul itu tahu dan sadar akan dampak dari hasil pertemuannya. Kita tak juga tahu persis bagaimana para anak muda ini memperoleh ide cemerlang yang menjadi cikal-bakal kesadaran akan rasa senasib sepenanggungan dalam suasana ketertindasan rakyat terjajah.

BACA JUGA  Editorial: Kotak Kosong Atau Otak Kosong

Benedict Anderson dalam buku tersohornya “Imagined Communities” mengatakan bahwa nasionalisme adalah sebuah “komunitas terbayang”. Artinya, terbentuknya sebuah nasionalisme adalah hasil dari pembayangan imajinasi yang dikonstruksi sehingga menghasilkan ideologi.

Namun, apa pun yang menjadi landasan pijak Anderson dalam menelaah lahirnya nasionalisme, di hari itu, di tanggal 28 Oktober 1928 itu, sebuah cahaya lilin berbinar di tengah kegelapan. Semacam peneguhan bersama untuk merubah nasib menjadi lebih baik: dengan segala mimpi anak muda yang mungkin naif.

Makanya, banyak para priyayi, kaum aristokrat asuhan Hindia Belanda saat itu mencibir dengan senyum ‘nakal’ menganggap pertemuan anak-anak muda ini hanyalah kekenesan, kegenitan anak-anak remaja tanggung yang baru tersentuh istilah kaum pergerakan. Anak muda yang dianggap memang punya hobi ‘ngumpul-ngumpul’ sambil merasa dunia sudah digenggaman mereka.

BACA JUGA  Editorial: Andi Iwan Aras, Kader Partai yang Layu Sebelum Berkembang

Itulah, barangkali mengapa pertemuan ini tidak dibubarkan (seperti banyak pertemuan di zaman Orba).

Tapi alur sejarah berjalur lain. Dari pertemuan itulah, dari kerja tanpa iming-iming bakal menjadi pejabat. Dari gairah yang digerakkan dengan tulus: lahirlah Sumpah Pemuda yang menjadi momen pendobrak sikap mental inlander yang ditanamkan pemerintah kolonial.

Dan, kita, di tahun 2022, jelang tanggal 28 Oktober, kita seperti telah banyak kehilangan elan semacam ini: keikhlasan perjuangan untuk rakyat tanpa pamrih apa pun dan bukan buzzer. [Redaksi]

Comment