Editorial: Fenomena Retaknya Kepribadian Kita

Ilustrasi pribadi yang retak

BANYAK ahli psikologi sosial menilai negeri kita kini tengah dilanda semacam keretakan kepribadian. Sebuah kepribadian yang terbelah. Hati, ucapan dan perilaku tidak lagi berada pada aras dan alur yang lurus dan selaras. Benarkah apa yang banyak diulas pakar psikologi sosial kita ini?

Tanpa ada maksud menggurui siapa pun serta tanpa ada maksud menuding siapa pun, fenomena semacam ini ada benarnya. Bahkan kadang kita berpikir bahwa selama ini, kita telah makin jauh tercerabut dan terlempar dari spirit nilai-nilai paling murni dalam cahaya spritualitas kita.

Satu hal yang paling mencolok dari semua fenomena di era moderen saat ini adalah kita demikian gampangnya berpindah-pindah dalam kepribadian. Kita demikian mudahnya bahkan sangat mahir dalam melakoni hidup dengan mencampur-adukkan antara yang hak dan yang batil. Tidak mengherankan bila zaman ini oleh para pakar psikologi disebut era ‘kepribadian yang retak”.

Contoh yang paling gampang kita temukan adalah bagaimana gelombang semangat spitual demikian membahana di negeri ini. Hampir setiap lingkungan terkecil dari tingkat RT dan RW kita membentuk majelis taklim. Pengajian bahkan menjadi semacam tren gaya hidup yang menjamur di mana-mana.

Bukan hanya itu, dalam melakukan perjalanan ibadah umrah dan haji, negara kitalah yang menjadi urutan pertama dalam jumlah jemaah. Begitu pula rumah ibadah seperti masjid bertaburan di mana-mana.

Namun ironisnya, bersamaan dengan itu, kita menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Di media massa, kita tiap hari disuguhkan perilaku kejahatan yang kadang sudah di luar akal sehat kita. Seorang demikian gampang membunuh saudaranya hanya persoalan duit 10 ribu perak. Seorang bapak tega berbuat tak senonoh pada anak kandungnya tanpa merasa bersalah dan sederet panjang kasus yang tak terhitung jumlahnya.

Belum lagi, akhir-akhir ini kita demikian terhenyak dengan fenomena para pejabat dan keluarganya yang dengan bangga memamerkan gaya hidup mewah dan hedonis di tengah banyaknya kemeralatan rakyat di sekitarnya. Perilaku ini benar-benar telah melukai hati rakyat.

Dari semua realitas ini, apa yang salah dengan karakter, mentalitas dan kepribadian bangsa kita? Apakah materialisme telah menjadi berhala baru namun kemudian dengan rapi dikemas dengan simbol-simbol religiusitas?

Apakah semangat spritual yang kita saksikan menggema dengan dahsyat itu hanya berada dipermukaan saja. Sedang inti dasar dari kepribadian kita dipenuhi semangat menghamba pada materi?

Untuk semua itu, kita hanya bisa menduga. Namun yang pasti, dari fenomena dan realitas ini memang ada yang tak lagi nyambung antara hati, pikiran dan perilaku kita. Ada yang terputus dan perlahan membusuk di sana. Hati yang menjadi terminal kita berhubungan dengan Tuhan dibutakan oleh nafsu dan pikiran duniawi.

Dalam situasi centang perenang seperti ini. kita teringat Rasulullah SAW. Diceritakan, sepanjang hidupnya, Rasulullah hanya memiliki tiga pakaian. Satu yang dikenakan, satu disimpan di lemari dan satu lagi di cuci. Di rumah Rasulullah, dalam seminggu Aisyah, istri Rasulullah hanya bisa memasak 3 dan 4 hari. Selebihnya Aisyah tak memasak karena tidak ada makanan yang bisa dimasak. Padahal, Rasulullah adalah pemimpin umat, Rasul yang paling dicintai Allah.

Mungkin kita tak bisa mengikuti gaya hidup Rasullullah secara keseluruhan, namun keteladanan hidup yang diberikan minimal bisa memberi kita pegangan tentang arah tujuan hidup kita yang sejati. Hari Tahun Baru Islam ini, semoga kita diberi rahmat dan hidayah untuk kembali meluruskan kepribadian kita seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. [Redaksi]

Comment