Pengamat Kebijakan Publik Soroti Tuntas Program Gratis Sampah Appi-Aliyah

ilustrasi petugas sampah

MAKASSAR — Peneliti dari Pusat Kajian Politik dan Kebijakan Publik Muh Lutfhi menyoroti program iuran sampah gratis yang dijanjikan paslon Munafri Arifuddin -Aliyah Mustika Ilham (Appi-Aliyah) di Pilwali Makassar. Menurut dia dalam kontestasi politik Pilkada, setiap paslon berhak menjanjikan program yang dinilai bisa meraup simpati dan suara warga, namun untuk setiap kebijakan publik yang dijanjikan, hendaknya dipikirkan secara matang, terukur serta mampu diimplementasikan dalam kompleksitas tata kelola anggaran pemerintahan.

“Ini karena setiap kebijakan publik senantiasa  membawa dampak yang berimbas pada seluruh bangunan sistem penganggaran pemerintah serta ujungnya akan memicu kekacauan di sektor lain”, ujar Lutfhi, Sabtu (19/10).

Dia menjelaskan lebih jauh, pada setiap kebijakan publik ada banyak tahapan yang harus dilalui secara rigid seperti perencanaan, proses, implementasi serta simulasi evaluasi dampak. Dan semua itu harus disinkronisasikan dengan aturan perundangan-undangan, aturan pemerintah, peraturan daerah dan lain-lain.

“Jadi bukan hanya sekadar mengeluarkan janji program yang karena dianggap populis dan menyenangkan rakyat. Justru warga harus dididik untuk mengkritisi setiap janji yang diluncurkan paslon, karena itu akan berdampak pada sistem pelayanan publik yang bakal dijalankan,” imbuh dia.

Misalnya, kata Lutfhi, sistem pelayanan persampahan itu diatur dalam Perda yang dibahas bersama legislatif. Kedua, sistem iuran sampah itu merupakan pemasukan PAD yang juga diperuntukkan memaksimalkan pelayanan sampah mulai dari gaji pengangkut sampah, pelayanan kebersihan kota serta investasi pembangunan sistem pengelolaan sampah berkelanjutan.

“Ini hanya bicara dalam skala kecil, karena semua kebijakan saling berkait dengan kebijakan lain. Jadi semuanya harus didesain secara matang. Bukan hanya berpikir dalam satu sektor dengan menggunakan sihir kata gratis yang pada akhirnya hanya tersangkut di awang-awang karena tidak realistis dan tidak memiliki daya dukung dari peraturan yang ada serta kesiapan sosiologis warga serta pengelola sampah” tandas dia.

Dalam konteks ini, kebijakan subsidi mungkin lebih tepat, baik subsidi silang maupun subsidi pemerintah kota untuk kalangan warga tidak mampu. Sehingga yang terbangun adalah rasa keadilan dan ketepatan dalam menyasar sasaran sektor rumah tangga mana yang perlu disubsidi.

“Bukan malah memakai jargon gratis, karena ini juga akan membangkitkan rasa ketidakadilan pada warga. Apakah sampah pabrikan besar, restoran besar, usaha komersil dan warga kelas menengah atas digratiskan? Lalu bila yang digratiskan sampah rumah tangga tertentu bagaimana menyasar mereka sehingga tepat sasaran? Dan yang lebih mencemaskan kebijakan ini justru bakal memicu kekacauan dalam level paling bawah struktur masyarakat dilevel RT/RW karena menimbulkan saling cemburu dan gesekan antar warga,” katanya.

Lutfhi menandaskan, realitas sosial di level bawah (tingkat RT/RW)  sangat perlu menjadi acuan penting bagi perumusan kebijakan publik karena dampak yang ditimbulkannya bisa di luar desain ideal yang ada.

“Dari berbagai penelitian yang kami lakukan sangat banyak ditemukan kebijakan yang tidak terimplementasi secara baik karena berbagai variabel seperti basis data yang tidak akurat, penyimpangan dari oknum pejabat RT/RW dalam menetapkan siapa warga penerima program,  basis penilaian yang lebih pada faktor kedekatan, like and dislike serta bagaimana meyakinkan pengangkut sampah untuk memperlakukan sama setiap warga. Dan yang lebih penting adalah dampak sosiologis warga yang alih-alih meningkatkan kesadaran akan kepedulian pengelolaan sampah yang baik justru kontradiktif, masyarakat malah makin tak peduli akan persoalan sampah karena efek gratis itu. Inilah yang perlu dipertanyakan dari program iuran sampah gratis Appi-Aliyah. Dengan kata lain, kejelasan yang tuntas perlu disosialisasikan agar warga tidak terhanyut dengan jargon gratis,” kuncinya. (*)

Comment