
Dailymakassar.id – EDITORIAL – PADA akhirnya kebesaran dan keluasan jiwa seseorang pemimpin adalah jejak yang tak gampang dienyahkan. Apa pun cara dan bagaimana pun upaya sebuah rezim untuk menghapusnya dalam benak rakyat banyak, cahaya kebesaran itu menjadi sekam yang akan meletup kembali. Ingatan kolektif mengawetkannya. Menjaganya dalam ruang-ruang kerinduan dan bisik-bisik di antara remang-remang percakapan –mungkin di bawah kecemasan moncong bedil.
Dalam sejarah, setiap rezim yang “berjenis kelamin” otoritarian seperti mengulang kedunguannya untuk mencoba melakukan pekerjaan sia-sia tersebut. Di masa orde baru, jejak sejarah yang dianggap bisa melemahkan rezim diberi stempel “haram”. Ingatan hendak dilumpuhkan dengan berbagai indoktrinasi. Berbagai penataran didesakkan sampai jauh ke dalam “mimpi” kita. Dan “hantu” seperti bahaya laten komunis, bahaya ekstrem kanan diciptakan untuk membuat nyali kita menciut.
Di tempat lain, seperti Afrika Selatan di era politik apartheid bahkan menayangkan drama yang lebih memilukan. Di sana hanya ada dua kutub yang dipisahkan oleh tembok keras sistem: manusia (ras berkulit putih) dan bukan manusia (ras kulit hitam).
Namun sekokoh-kokohnya bangunan sistem mencemooh kemanusiaan, pada akhirnya ingatan rakyat banyak menunjukkan ketegarannya. Dia berkamuflase, mengintip celah untuk membentuk ingatan berwujud ide dan melahirkan tindakan. Kemudian menunggu. Menunggu hingga bangunan otoritarian keropos dan runtuh.
Indonesia dan Afrika Selatan barangkali berbeda: namun disatukan dalam sebuah kondisi yang mengerangkeng peri keadilan dan kemanusiaan. Di tahapan kritis jelang keruntuhan rezim otoriter yang berkuasa, Indonesia dan Afrika Selatan bergema dalam arus besar perubahan.
Lalu apa yang membedakan Indonesia dan Afrika Selatan? Jawabnya: Pemimpin. Di Afrika Selatan punya seorang Mandela. Sedang di Indonesia kita menemui ruang kosong kepemimpinan yang berjiwa besar. Di jelang runtuhnya orde baru, para tokoh politik kita tak satu suara. Bahkan saling menebalkan rasa curiga antara satu dengan yang lain.
Di Afika Selatan, selepas dari tahanan dan menjadi pemimpin nasional, Mandela menunjukkan cahaya bernas kepemimpinannya. Tak ada dendam di sana. Pengampunan serta kebesaran jiwa kepemimpinan menjadi suluh penerang membawa negara ini berjalan –mungkin tertatih namun pasti.
Budayawan Rahman Arge pernah mengatakan suatu ketika: sebuah krisis pasti bakal melahirkan pemimpin besar. Arge mungkin merujuk ke sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang mampu melahirkan Soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Tan Malaka, Moh. Natsir, Wahid Hasyim yang walaupun berbeda ideologi, prinsip perjuangan dan cara mennyikapi situasi, namun di saat yang diperlukan, dimomen yang kritis, mereka rela menanggalkan ego demi kemaslahatan rakyat.
Afrika punya Madela di saat Indonesia juga membutuhkan sosok semacam ini sewaktu memasuki gerbang ‘Reformasi’. Namun itu tak didapatkan.
Barangkali, karena itulah, hingga saat ini reformasi yang mencoba membangun demokrasi seperti sebuah proyek yang menyimpan banyak anomali. Dan hasilnya, regenerasi kepemimpinan yang tak diuji oleh badai tak pernah lagi kita lahirkan di republik ini.
Maka menjelang pemilihan pemimpin nasional di 2024 mendatang, kita hanya menyaksikan drama yang tak elok: kekuasaan yang maha esa. [Redaksi]
Comment