Opini: Menelisik Program Sampah Gratis di Makassar: Realistis atau Wacana?

Oleh: M. Lutfhi*

PROGRAM iuran sampah gratis menjadi perdebatan dikalangan publik Makassar usai salah satu pasangan calon wali kota menjanjikan bakal memberlakukan program iuran sampah gratis di Makassar.

Lalu bagaimana mengukur ancangan program ini bila ditelisik dari berbagai tinjauan dengan melakukan perbandingan dengan berbagai kota besar di dunia?

Berikut ini laporan kajian dari Pusat Kajian Politik Kebijakan Publik tentang pengelolaan sampah secara holistik bila dikaitkan dengan kebijakan iuran sampah gratis:

Meskipun kebijakan sampah gratis  (di mana masyarakat tidak membayar langsung untuk layanan pengelolaan sampah) jarang diterapkan secara luas, beberapa kota di dunia telah mengadopsi kebijakan pengelolaan sampah berbasis subsidi  atau pembiayaan dari pajak umum. Berikut adalah beberapa kota yang telah mengimplementasikan pendekatan ini, beserta efek-efek yang muncul:

1. Tallinn, Estonia

Kebijakan:
Tallinn, ibu kota Estonia, memiliki sistem pengelolaan sampah di mana biaya layanan sampah ditanggung melalui **pajak umum**. Warga Tallinn tidak dikenakan biaya langsung untuk layanan pengumpulan sampah, dan pemerintah kota menyediakan pengelolaan sampah sebagai bagian dari layanan publik kota. Biaya pengelolaan sampah dianggarkan dari pendapatan pajak yang dibayarkan oleh penduduk.

Efek:
Efisiensi Pengelolaan: Program ini berjalan cukup baik karena Estonia telah mengembangkan infrastruktur yang kuat untuk pengelolaan sampah, termasuk fasilitas daur ulang dan insinerator untuk sampah yang tidak bisa didaur ulang.

Partisipasi Publik: Edukasi publik yang ekstensif membantu memastikan bahwa warga kota mematuhi aturan pemisahan sampah. Meskipun layanan ini “gratis” secara langsung bagi warga, tingkat kesadaran lingkungan tinggi, dan penduduk Estonia memiliki partisipasi yang baik dalam mendaur ulang sampah.

Daur Ulang Tinggi: Estonia secara keseluruhan memiliki tingkat daur ulang yang tinggi, dengan kota-kota seperti Tallinn memanfaatkan sistem ini untuk meminimalkan sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA). Pada 2021, Estonia berhasil mendaur ulang lebih dari 40% sampah rumah tangga.

2. Seoul, Korea Selatan

Kebijakan:
Kota Seoul tidak menawarkan sampah gratis sepenuhnya, tetapi menerapkan sistem Pay-as-You-Throw (PYT), di mana warga dikenakan biaya berdasarkan jumlah sampah non-daur ulang yang mereka buang. Sebagian dari biaya layanan pengelolaan sampah juga disubsidi oleh pemerintah kota melalui pajak, terutama untuk layanan daur ulang dan pengelolaan sampah organik.

Efek:
Penurunan Volume Sampah: Sistem ini telah berhasil mengurangi volume sampah non-daur ulang secara signifikan. Seoul juga memiliki sistem pengelolaan sampah organik yang sangat maju, yang menuntut warga untuk memisahkan sampah organik mereka untuk dikumpulkan dan didaur ulang menjadi kompos atau biogas.

Insentif Ekonomi: Sistem PYT memberikan insentif ekonomi langsung kepada warga untuk mengurangi jumlah sampah yang mereka hasilkan. Warga didorong untuk memisahkan sampah dengan benar dan mendaur ulang lebih banyak, karena mereka hanya dikenakan biaya berdasarkan kantong sampah yang mereka beli untuk sampah yang tidak dapat didaur ulang.

Pengelolaan Berkelanjutan:Subsidi pemerintah untuk daur ulang dan pengelolaan sampah organik membantu memastikan bahwa Seoul mampu menangani sampah dalam jumlah besar dari populasi yang padat tanpa membebani warga miskin.

3. Oslo, Norwegia

Kebijakan:
Di Oslo, pengelolaan sampah dibiayai melalui pajak properti yang mencakup berbagai layanan umum, termasuk layanan pengumpulan dan pengelolaan sampah. Warga tidak dikenakan biaya langsung yang terpisah untuk pengelolaan sampah rumah tangga mereka. Oslo memiliki sistem pengelolaan sampah yang sangat canggih, di mana sebagian besar sampah diolah untuk didaur ulang atau diubah menjadi energi.

Efek:
Pemanfaatan Sampah sebagai Sumber Energi: Oslo telah mengembangkan sistem pengolahan sampah yang berfokus pada waste-to-energy. Sampah yang tidak dapat didaur ulang dikirim ke pabrik insinerasi untuk diubah menjadi listrik dan panas. Ini mengurangi ketergantungan pada tempat pembuangan akhir dan memaksimalkan penggunaan sampah.

Kesadaran Publik yang Tinggi:  Sistem “gratis” ini tetap diiringi dengan program edukasi yang kuat. Warga Oslo sangat sadar akan pentingnya daur ulang dan pemilahan sampah, sehingga tingkat pemisahan sampah di kota ini sangat tinggi.

Lingkungan yang Lebih Bersih: Oslo dianggap sebagai salah satu kota dengan sistem pengelolaan sampah paling bersih dan ramah lingkungan di dunia. Ini menunjukkan bahwa ketika program didukung oleh infrastruktur yang kuat dan pendidikan publik yang baik, efek samping negatif seperti peningkatan produksi sampah dapat dihindari.

4. San Francisco, Amerika Serikat

Kebijakan:
Meskipun San Francisco tidak menawarkan layanan sampah gratis sepenuhnya, kota ini memimpin dalam program Zero Waste. Pemerintah kota secara aktif mensubsidi program daur ulang dan pengelolaan sampah organik untuk memastikan bahwa sebanyak mungkin sampah didaur ulang atau diubah menjadi kompos. Warga dikenakan biaya berdasarkan jumlah sampah non-daur ulang yang mereka hasilkan, tetapi layanan daur ulang dan pengelolaan sampah organik sering kali lebih terjangkau atau disubsidi.

Efek:
Tingkat Daur Ulang yang Tinggi: San Francisco berhasil mendaur ulang hingga lebih dari 80% dari total sampah kota, berkat kombinasi antara kebijakan insentif, subsidi, dan program edukasi publik yang intens.

Kesadaran Lingkungan yang Tinggi: Sistem ini mendorong warga untuk berpartisipasi aktif dalam program daur ulang dan kompos, karena mereka akan dikenakan biaya lebih rendah jika memisahkan sampah dengan benar.

Pengurangan Sampah ke TPA: Dengan target Zero Waste pada tahun 2030,  San Francisco telah menunjukkan bahwa subsidi untuk program daur ulang dan kompos dapat memberikan efek positif dalam mengurangi ketergantungan pada tempat pembuangan akhir.

Kesimpulan dari Contoh Kota

Secara umum, program-program pengelolaan sampah yang dibiayai dari pajak atau yang memberikan subsidi layanan (seperti daur ulang atau kompos) dapat berhasil mengurangi sampah dan meningkatkan partisipasi masyarakat, jika diimbangi dengan kebijakan yang tepat dan edukasi publik yang kuat. Namun, ada beberapa faktor penting yang menentukan keberhasilan program seperti ini:

1. Infrastruktur Pengelolaan Sampah yang Kuat: Kota-kota yang sukses memiliki sistem pengelolaan sampah yang canggih, termasuk fasilitas daur ulang, insinerator, atau teknologi waste-to-energy, yang mengurangi beban tempat pembuangan akhir (TPA).

2. Edukasi Publik: Kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam memilah sampah sangat krusial. Program gratis atau bersubsidi sering kali disertai dengan edukasi lingkungan yang mendorong tanggung jawab warga dalam mengurangi dan mendaur ulang sampah.

3. Kombinasi Insentif Ekonomi: Kota-kota seperti Seoul dan San Francisco menunjukkan bahwa menggabungkan program gratis atau bersubsidi dengan kebijakan pembayaran berdasarkan jumlah sampah yang dihasilkan dapat memberikan insentif positif kepada warga untuk mengurangi jumlah sampah yang mereka hasilkan.

4. Pendanaan yang Berkelanjutan: Program gratis membutuhkan sumber pendanaan yang berkelanjutan, yang biasanya diambil dari pajak lokal atau nasional. Kota harus memastikan bahwa dana yang dialokasikan cukup untuk menjaga kualitas layanan pengelolaan sampah.

Jadi, program sampah gratis bisa efektif, tetapi keberhasilannya bergantung pada bagaimana program tersebut dirancang dan diimplementasikan, terutama dalam hal edukasi, infrastruktur, dan insentif bagi masyarakat untuk mengurangi sampah. (*)

*Penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Politik dan Kebijakan Publik

Comment